tentang makna ruang dan waktu

Biasanya ketika bertemu orang yang baru saling mengenal, kita bertanya macam-macam. Pertanyaan standar, “Siapa namanya?” atau “Tinggal dimana?”. Kalau ditanya orang-orang yang baru kenal, saya sering juga ditanya, “Kerjanya apa?”

Kalau ditanya orang baru mengenai apa pekerjaan yang saya geluti sehari-hari, maka dengan mantap saya jawab “Pekerjaan saya adalah menjadi ayah hebat dari seorang putri tercinta berusia tiga tahun dan sekaligus bekerja sebagai lelaki yang ceria dan menyenangkan”.

Kalau si penanya bengong dengan jawaban tersebut, maka saya tambahkan dengan, “Ini adalah pekerjaan yang paling hebat di dunia ini. Saya bangga bisa bekerja sebagai lelaki sekaligus jadi ayah”

Biasanya yang mendengar senyam-senyum. Saya agak bingung, padahal saya kan tidak lucu. Tapi saya mah positif saja, saya anggap ia senyum mungkin karena saya memang cool. Hehe…

Orang-orang tertentu biasanya cukup puas dengan jawaban tersebut. Namun orang-orang lainnya bertanya dengan awal kalimat, “Serius, kamu ngapain sih dengan hidup kamu?” atau “Bagaimana kamu bisa hidup?”

Aneh, padahal kan sudah saya jawab pertanyaan dia. Kok malah tanya yang lebih aneh lagi.

Bagaimana saya bisa hidup? Itu kan pertanyaan ajaib. Saya bisa hidup karena saya dilahirkan, bernafas, makan, buang air, berinteraksi dan bahagia (*Iya jelas saya senang dan bahagia dengan hidup. Kalo nggak, pasti saya sudah tidak hidup lagi*). Saya bisa hidup kan jawabannya sama dengan manusia lainnya. Saya bisa hidup, setidaknya-hingga-saat-ini-sebagai-manusia, karena melakukan hal yang sama sebagaimana manusia lainnya. Itu kan manusiawi? Toh?

Ujung-ujungnya sih penanya bertanya bagaimana saya dapat uang untuk bertahan hidup. Yaelah, tanya kok ujung-ujungnya ke fulus. Emangnya saya cowok mata duitan kali? Haha.

Kalo sudah ditanya soal darimana uang saya berasal saya jawab, “Saya punya hobi, trus saya kerjain aja deh hobi saya. Ajaibnya, tiap akhir bulan saya masa sih dikasih duit gara-gara ngerjain hobi itu? Yaa udah, dari situ uang saya datang”

Habis itu si penanya tidak habis-habis bertanya. Misalnya seperti apa hobi saya, bagaimana saya mengerjakan hobi saya dan berapa saya dibayar atas hobi-hobi yang saya lakukan hingga pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Biasanya, saya mah ketawa saja sih mendengarnya. Ujung-ujungnya karena ia yang lebih banyak bertanya, saya malah lupa bertanya balik. Hihi…

Tapi beberapa minggu lalu saya dapat pertanyaan yang sama tapi dalam versi yang lebih berat.

Tentang Makna Ruang

Di bis, putri saya Novi Kirana bertanya, “Papa, kamu kalau sudah besar mau jadi apa? Tapi kalau sudah menjawab kamu harus tanya juga yaa ke aku kalau sudah besar aku mau jadi apa?”

Saya tertawa, “Oke Novi. Oke. Kalau gitu papa duluan deh yang nanya. Kamu kalau sudah besar mau jadi apa?”

“Aku mau jadi dokter papa. Dokter untuk manusia”

“Bukan dokter untuk binatang atau tumbuhan?”

“Nggak papa. Aku mau jadi dokter atau perawat saja. Papa mau jadi apa?”

Saya memeluknya dan menjawab, “Papa hanya ingin jadi papa yang baik untuk kamu, sayang. Jadi lelaki yang selalu kamu cintai dan mencintai kamu”

Ia menatap saya dengan tatapan yang sukar diungkapkan lewat kata-kata, “Papa, kenapa kamu nggak tinggal sama aku dan mama lagi?”

Ini pertanyaan yang sukar. Sudah hampir setahun saya tidak tinggal bersamanya lagi. Kami hanya bisa bertemu beberapa jam saja dalam seminggu. Saya hampir menangis dalam bis. Saya belai rambutnya yang coklat penuh kasih sayang, “Nak, papa kan tidak tinggal jauh dari kamu dan mama. Hanya setengah jam saja. Jadi kalau ada apa-apa papa pasti bisa datang. Lagipula kamu kan punya dua kamar sekarang. Punya dua rumah. Punya mainan dua kali lipat lebih banyak. Kamu nggak senang?”

“Aku lebih senang kalu papa tinggal sama aku dan mama”

Dug! Jantung saya berdegup jauh lebih cepat daripada biasanya. Saya harus menjawab pertanyaan ini dengan baik sesuai umurnya. Sebab ia kelihatan lebih memahami hidup lebih banyak daripada usianya. Airmata saya hampir meleleh dalam bis. “Cintaku, papa sudah tinggal sama mama. Tapi papa jadi sedih. Mama juga jadi sedih. Jadi lebih baik supaya kami tidak sedih, papa tinggal di tempat lain. Tapi kami tetap sangat cinta kamu. Kamu yang membuat kami bahagia. Kamu pasti selalu bisa main sama papa dan mama bersama”

“Kalau begitu kita besok ke kebun binatang sama mama yaah, Papa?”

Saya senyum, “Pasti sayang. Kita selalu bisa ke kebun binatang. Nanti papa tanya mama dulu yaa kalau mama ada waktu untuk kita”

Ia mengangguk. Saya kembali tersenyum. Saya begitu bahagia bisa bersamanya walaupun kesempatan datang hanya beberapa jam saja.

Tentang Waktu

“Papa, kamu benar besok selasa kita bisa ke kebun binatang”

“Papa pikir sih bisa, sayang. Papa bisa ambil hari libur khusus untuk kamu. Kenapa?”

“Kata mama papa harus sering pergi untuk cari uang?”

Lagi-lagi jantung saya berdebar cepat. Saya harus memberi jawaban yang jujur dan tidak membuatnya sedih, “Iya nak. Mama benar. Papa sering bepergian dan biasanya dapat uang setelahnya. Tapi papa cari uang jadi bisa bantu mama membesarkan kamu. Jadi yaa papa cari uang sebenarnya untuk kamu”

“Kalau kamu punya uang kita beli sepeda yaa papa?”

Saya ketawa. Halah ujung-ujungnya ternyata sepeda. “Iya cinta. Kita beli sepeda nanti kalau papa sudah punya uang. Kamu mau sepeda apa sayang?”

“Aku mau sepeda warna biru dengan helm warna merah!”

Wah saya bengong mendengarnya. Buset dah, memangnya dia sudah bisa naik sepeda apa. Kok tahu pasti apa yang dimaui. Ia menukas dengan cepat seperti membaca pikiran saya, “Papa, nanti kamu ajari aku naik sepeda yaa?”

Senyum saya semakin melebar, “Iya Nak, pasti sayang. Pasti!”

“Kamu ada waktu papa? Kata orang-orang kamu nggak punya waktu”

Alis saya mengerenyit, “Orang-orang itu siapa sayang?”

Dengan cuek ia menjawab, “Orang-orang yaa orang-orang lah”

Saya menatapnya kagum. Sepertinya ia mendengar banyak informasi di telinganya dan kini coba mengkonfirmasikan semua berita yang telah ia dengar. Saya jawab pelan, “Ada cintaku. Pekerjaan papa kan jadi papa kamu. Maka papa pasti ada untuk kamu” sambil mengecup keningnya.

Ia menatap ke depan. Tangan kanannya menggenggam erat jari-jari saya seakan enggan dilepaskan.

Saya menatapnya lekat dan semakin jatuh cinta kepadanya.

Tentang Jatuh Cinta

Sebentar lagi bis akan sampai di rumah mamanya. Sesuai kesepakatan, pada pagi tertentu mamanya mengantar sampai ke rumah saya dan saya yang akan membawa bocah manis berusia tiga tahun ini kembali ke rumah mamanya di sore hari. Saya sudah berjuang habis-habisan agar mendapatkan kesempatan bisa memasak dan makan malam bersama putri saya walaupun akhirnya hanya dapat dua kali perminggu. Sore itu, saya akan memasak untuk putri saya sebelum mamanya pulang.

Makanan favoritnya bersama saya biasanya masih nasi hangat campur mentega dan irisan ketimun. Namun untuk menyeimbangkan dengan gizi dan vitamin, biasanya saya beri juga ikan atau sosis kesukaannya. Ditambah kiwi dan strawberry. Ia suka sekali makan nasi campur strawberry.

Di meja makan, sore itu saya bilang kepadanya, “Novi, papa jatuh cinta pada kamu”

Sambil mengunyah irisan ketimun yang dipotong panjang ia bertanya, “Jatuh cinta itu apa, Papa?”

Saya berhenti menyendok nasi ke mulut. Hampir tersedak. Ini pertanyaan sederhana. Sangat sederhana. Tapi bagaimana menjelaskan ‘hal sederhana ini’ pada anak sekecilnya?

Saya coba menjelaskannya dalam bahasa Belanda. walaupun ia mengerti Bahasa Indonesia ia lebih fasih bicara dalam bahasa Belanda, sebab itu bahasa interaksinya sehari-hari dan bahasa ibunya. Dalam bahasa Belanda, ada rancu dalam penjelasan teman. Vriend artinya teman, mengacu pada fisiologis pria ia berarti teman yang berjenis laki-laki. Tapi vriend juga bisa berarti pacar laki-laki. Sementara vriendin artinya teman, bisa teman perempuan bisa juga pacar perempuan. Saya coba menjelaskannya dalam bahasa Belanda sederhana kepadanya.

“Novi sayang, jatuh cinta itu kalau kamu punya perasaan sayang kepada orang yang kamu suka. Misalnya kepada vriend atau kepada vriendin kamu”

Dia menatap saya lagi, “Jatuh cinta itu apa, Papa”. Saya ketawa. Itu tandanya ia belum mengerti dan masih butuh penjelasan lanjutan.

“Begini sayang, kalau kamu punya vriend atau vriendin yang baik lalu kamu mau bersama dia terus, kamu selalu mau main-main sama dia dan kamu sedih kalau dia pergi itu tandanya kamu cinta kepadanya”

Dia mengangguk-angguk, “Mama punya vrienden. Segini…” katanya sambil membentangkan seluruh jari tangan kanannya. Saya ketawa terbahak-bahak mendengarnya. Vrienden itu artinya teman laki-laki secara hitungan jamak.

“Papa senang, Nak kalau mama punya teman banyak. Jadi mama tidak sedih lagi. Ada yang menghibur. Teman mama kan banyak laki-laki dan banyak perempuan juga”

“Bukan papa. Aku nggak suka teman laki-laki mama yang rumahnya dekat kebun binatang. Mama sering kesana ajak aku, tapi aku nggak suka dia. Aku mau ke kebun binatang sama papa saja tidak sama dia. Aku juga nggak mau pindah ke Spanyol karena disana juga ada teman laki-laki mama”

Saya diam melihatnya sedih. Wajahnya agak tertekan. Ia lalu bilang lagi, “Papa jangan bilang mama yaah kalau aku bilang begini ke papa”

Saya ikut sedih. Saya bilang, “Nak, kamu jangan khawatir. Papa akan selalu menjaga kamu. Papa minta maaf sebab papa tidak ikut campur urusan mama lagi, tapi papa pasti akan menjaga kamu. Kamu jangan takut cinta. Kamu tidak perlu ketemu orang yang tidak kamu suka dan kamu juga tidak akan pindah ke Spanyol kalau kamu tidak mau”

“Papa janji?”

“Iya Nak, papa janji”

Mukanya kembali cerah. Saya senang bisa membuatnya kembali bahagia walaupun saya tahu akan terlibat omongan yang cukup serius dengan mamanya soal itu. Sesuatu yang biasanya saya hindari sejak saya tidak lagi tinggal bersama Novi untuk meminimalisir efek bencana setelahnya. Namun demi kepentingan putri semata wayang, jelas apapun akan saya lakukan. Ahh saya hanya manusia biasa dan sama sekali tidak ingin melihat putri saya menderita.

Sambil mengunyah strawberry terakhir ia bertanya, “Papa punya teman perempuan?”

“Yaa banyak Nak. Teman papa laki-laki dan perempuan. Banyak. Setiap hari papa mengerjakan hobi bersama mereka”

“Rumahnya dekat kebun binatang juga?”

O-oh, saya baru mahfum arah pertanyaannya. “Kalau yang kamu maksud pacar. Papa tidak punya sayang. Papa kan sudah punya kamu, teman perempuan terbaik yang papa punya. Papa urus Novi saja”

Ia melihat saya lalu tersenyum.

Sore itu ketika saya harus pergi saya memeluknya erat. Saya bilang bahwa bangga sekali saya menjadi ayahnya. Sambil berjongkok dihadapannya saya katakan, “Papa cinta Novi”

Ia mengecup kening dan mengusap rambut saya sambil berkata, “Novi jatuh cinta ke Papa”